ADA saat yang bersamaan, Erdogan telah memberi harapan baru, bukan hanya bagi umat Islam di Turki namun juga bagi umat Islam sedunia. Di dalam negeri, Erdogan telah memberi kebebasan bagi umat Islam untuk menggeliatkan syi’ar Islam.
Bahkan, awal bulan Juni lalu, Turki juga telah mendirikan bank anti-praktek riba (baca: bank syari’ah), meskipun tidak secara eksplisit dinamakan sebagai bank syari’ah. Tentu saja, ini merupakan upaya-upaya lanjutan Turki dalam melawan sistem kapitalisme yang telah sekian lama menjajah umat Islam.
Saat ini, Turki juga kian eksis dalam kencah perpolitikan dunia. Negara dua benua ini telah tampil sebagai pemain utama dalam isu-isu yang berkaitan dengan umat Islam dunia. Turki hadir membantu umat Islam di Somalia dan di Crimea. Turki membantu mendamaikan Syprus. Turki membantu rekonstruksi Gaza-Palestina, setelah dihancurkan Israel. Turki juga hadir di berbagai negara dunia ketiga lainnya.
Bahkan, yang tidak mungkin kita lupakan, Turki juga eksis membantu Aceh saat musibah tsunami memporak-porandakan Aceh 10 tahun yang lalu. Alhasil, Turki di bawah kepemimpinan Erdogan dan AKParti betul-betul telah membawa harapan baru bagi dunia Islam, seperti peran yang pernah dilakukan Turki di masa Turki Usmani masa silam. Maka tidak heran jika banyak pihak menyebut bahwa kebangkitan Turki di bawah AKParti dan Erdogan adalah kebangkitan Islam.
Kunci Erdogan bangun Turki
Lalu apa kunci Erdogan menaklukkan sekulerisme di Turki yang telah berjalan hampir satu abad? Dalam perjalanannya, Erdogan paham betul persoalan mendasar Turki lama. Itu sebab, dalam geraknya setelah 12 tahun lalu ia dan partainya menjadi penguasa Turki, Erdogan langsung “memotong” urat nadi “Tuan-Tuan Istanbul” yang menjalankan praktek riba dan kapitalisme di tengah-tengah penderitaan bangsa Turki.
Kapitalisme sesuai dengan prinsipnya memang selalu menjajah dan memenjarakan manusia, dan kapitalisme ini mengambil manfaat sangat besar dari sistem sekuler di negara Turki.
Mengapa disebut mengambil manfaat, karena mereka tidak akan bisa menjalankan praktek kapitalisasi tanpa paham sekuler. Sekuler membenci kehadiran agama dalam negara, sementara Islam adalah sistem yang menentang kapitalisme, maupun juga sekulerisme.
Itu sebab, suatu ketika dalam rekaman yang masih bisa kita saksikan di Youtube, Erdogan mengatakan: “Jangan mengaku Muslim jika pada saat yang sama anda mengaku sebagai sekuler”. Atau ungkapannya yang lain, “Sekulerisme telah gagal membangun Turki, dan kami akan segera menggantikannya”.
Kembali ke kunci Erdogan membangun Turki, setelah Erdogan berhasil “memotong” urat nadi Tuan-Tuan Istanbul ini, aliran kekayaan bangsa Turki, dari sebelumnya mengalir ke tuan-tuan Istanbul ini, akhirnya bisa diarahkan ke pembangunan infrastruktur Turki, pendidikan, dan sebagainya. Maka saat ini kita bisa menyaksikan Turki baru yang modern di segala bidang.
Lebih dari itu, kini Turki juga mampu membantu negara-negara lain, sampai ke Indonesia. Lihatlah NGO terbesar Turki seperti IHH, mereka hadir hampir di setiap negara untuk membantu masyarakatnya.
Maka tidak salah, jika kita simpulkan, kebangkitan Turki adalah karena negara tersebut telah meninggalkan sistem sekuler dalam membangun negara secara diam-diam. Apalagi, tepat pada 30 Mei lalu, untuk kali pertama dalam sejarah Turki merayakan 562 tahun kejatuhan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Alfatih.
Semoga peringatan kejatuhan Konstantinopel ini menandakan bahwa Turki akan kembali berperan secara maksimal sebagai “ayah” bagi dunia Islam. Amiin. Wallahu a’lam bishsawab.*