a.
NAMA : RIZQI WR
b.
KELAS : 9-8
c.
NO ABSEN ; 31
Hadist tentang
bekerja
Syari’at Islam datang untuk membawa kemaslahatan. Termasuk kemaslahatan
dalam Islam adalah perintah Allah ta’ala kepada manusia yang
berkemampuan untuk bekerja, mencari karunia-Nya yang terhampar luas di
permukaan bumi.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah Yang menjadikan
bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah
sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah)
dibangkitkan” [QS. Al-Mulk : 15].
Ketika Allah mewajibkan
shalat Jum’at kepada kaum muslimin, Allah menjelaskan kewajiban yang harus
mereka tunaikan kepada Allah dan kewajiban yang harus mereka tunaikan untuk
(kemaslahatan) diri
mereka sendiri.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan
sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” [QS. Al-Jum’ah : 9-10].
Ada saatnya beribadah,
ada saatnya untuk bekerja. Keduanya akan membawa kemaslahatan jika dikerjakan
sesuai yang diperintahkan. Allah ta’ala sama sekali tidak
pernah memerintahkan manusia untuk menghabiskan waktunya beribadah kepada
Allah ta’ala. Oleh karenanya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya Rabbmu
mempunyai hak atas dirimu. Jiwamu juga mempunyai hak atas dirimu, begitu juga
keluargamu/istrimu juga mempunyai hak atas dirimu. Tunaikanlah pada setiap
pemilik hak dari haknya itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
1967, At-Tirmidziy no. 2413, Abu Ya’laa no. 898, Ibnu Khuzaimah no. 2144, Ibnu
Hibbaan no. 320, dan yang lainnya].
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي
الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا
وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di
bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat
berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya . Semuanya tertulis dalam Kitab
yang nyata (Lauh mahfuzh). (QS. Huud: 6)
اللّهُ يَبْسُطُ
الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقَدِرُ وَفَرِحُواْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ مَتَاعٌ
Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya
bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia,
padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan
(yang sedikit). (QS. Ar-Ra’du:26)
اَلبَطَالَةُ تُقَسِّى
الْقَلْبَ (اشهاب)
“Pengangguran menyebabkan hati keras (keji dan
membeku)”. (HR. As-Syihab).
Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam
‘Syu’bul Iman’ ada empat prinsip etos kerja yang diajarkan Rasulullah. Keempat
prinsip itu harus dimiliki kaum beriman jika ingin menghadap Allah dengan wajah
berseri bak bulan purnama.
Pertama,
bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal
dari segi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal
adalah haram, yang dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’
dan ‘haram lidzatihi’.
Analoginya, menjadi anggota DPR adalah halal. Tetapi jika jabatan DPR digunakan
mengkorupsi uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram. Jabatan yang
semula halal menjadi haram karena ada faktor penyebabnya. Itulah ‘haram
lighairihi’. Berbeda dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap haram.
Keharamannya bukan karena faktor dari luar, melainkan jenis pekerjaan itu
memang ‘haram lidzatihi’.
Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan
an al-mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain.
Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi
pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau
membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas
punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi atau
ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam
Islam. Lucu jika masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu
karena dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia
dan terhormat di mata Allah ketimbang meminta-minta.
Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala
iyalihi). Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat
diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah yang
cukup populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang
dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada
diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR
Ibnu Majah).
Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga
akan dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin
Jabal, Rasulullah bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa
itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah memuji tangan
Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya”.
Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan
ala jarihi). Penting dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan
diri dan keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam
menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan
telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah kamu beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah
menjadikanmu berkuasa atasnya.” (Qs Al-Hadid: 7).
Lebih tegas, Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi
mengabaikan nasib kaum miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama (Qs
Al-Ma’un: 1-3). Itu karena tidak dikenal istilah kepemilikan harta secara
mutlak dalam Islam. Dari setiap harta yang Allah titipkan kepada manusia,
selalu menyisakan hak kaum lemah dan papa.
Demikianlah, dan sekali lagi, kemuliaan pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat
dari jenisnya. Setelah memenuhi empat prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan
akan diukur dari kualitas niat (shahihatun fi an-niyat) dan
pelaksanaannya (shahihatun fi at-tahshil). Itulah pekerjaan yang bernilai
ibadah dan kelak akan mengantarkan pelakunya ke pintu surga.