pemanfaatan mikrobiologi akuatik sebagai bioremediator
Amalia
Vidia Safitri1, Deny
Suryo Pratama2, Farhana Fitri Ardilla3, Meicin Hikmah
Istiqomah4, Rizqi Widi Rahmadani5, Septia Nurul Ismi6
Universitas UIN Sunan Ampel, Surabaya, Indonesia
Abstract
Water is the most important requirement of
every living creature, so it can not be avoided if every year there is an
increase in the amount of clean water needs, but the fact is less water and
water is getting more polluted. This paper aims to describe the process of
pollutant control in marine areas with biological principles or biodegradation
in its application using remediation that is bioremediation process of waste
or waste materials by involving aquatic microorganisms. In the control of
secondary pollutants or biologically using the method Trickling filters,
Activated sludge. oxidation pool. These three methods make the polluted water
of both taste, smell color and harmful chemical substances to be reduced or
lost.
Abstrak
Air merupakan
kebutuhan terpenting pada setiap mahluk hidup, sehingga tidak dapat dihindari
jika tiap tahun terjadi peningkatan jumlah kebutuhan air bersih, namun
faktanya air bersih semakin sedikit dan air semakin lama semakin tercemar.
Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pengendalian pencemar di
wilayah perairan dengan prinsip biologik atau biodegradasi dalam
pengaplikasiannya menggunakan remediasi yaitu Bioremediasi merupakan proses perbaikan bahan buangan atau limbah dengan melibatkan mikroorganisme akuatik. Dalam
pengendalian pencemar sekunder atau secara biologik menggunakan
metode Trickling filters, Activated sludge. kolam oksidasi. Ketiga metode tersebut menjadikan air yang
tercemar baik rasa,warna bau dan zat kimia berbahaya menjadi berkurang atau
hilang.
Kata Kunci : Bioremediasi, air, bakteri, mikrobiologi akuatik |
|
1.
PENDAHULUAN
Air merupakan materi penting dalam kehidupan. Semua
makhluk hidup membutuhkan air. Misalnya sel hidup, baik hewan maupun tumbuhan,
sebagian besar tersusun oleh air, yaitu lebih dari 75% isi sel tumbuhan atau
lebih dari 67% isi sel hewan. Dari sejumlah 40 juta milkubik air yang berada di
permukaan dan di dalam tanah, ternyata tidak lebih dari 0,5% (0,2 jutamil-kubik)
yang secara langsung dapat digunakan untuk kepentingan manusia. Karena dari
jumlah 40 juta mil-kubik, 97% terdiri dari air laut dan jenis air lain yang
berkadar-garam tinggi, 2,5% berbentuk salju dan es-abadi yang dalam keadaan
mencair baru dapat dipergunakan secara langsung oleh manusia. Kebutuhan air
untuk keperluan sehari-hari, berbeda untuk setiap tempat dan setiap tingkatan
kehidupan. Biasanya semakin tinggi taraf kehidupan, semakin meningkat pula
jumlah kebutuhan air. Di Indonesia, berdasarkan catatan dari Departemen
Kesehatan, rata-rata keperluan air adalah 60 liter per kapita, Keperluan air
per kapita di negara-negara maju, jauh lebih tinggi dari keperluan di
Indonesia, misalnya untuk Amerika Serikat (Chicago: 800 L, Los Angeles: 640 L),
Perancis (Paris: 480 L), Jepang (Tokyo: 530 L), dan Swedia (Uppsala: 750 L).
Sejalan dengan kemajuan dan peningkatan taraf kehidupan, tidak dapat dihindari
adanya peningkatan jumlah kebutuhan air, khususnya untuk keperluan rumah
tangga, sehingga berbagai cara dan usaha telah banyak dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan air, antara lain dengan :
¾
Mencari
sumber-sumber air baru (air-tanah, air danau, air sungai, dan sebagainya);
¾
Mengolah dan
mentawarkan air laut;
¾
Mengolah dan
memurnikan kembali air kotor yang berada di sungai, danau, dan sumber lain yang
umumnya telah tercemar baik secara fisik, kimia maupun mikrobiologis.
Kualitas air harus memenuhi 3 persyaratan, yaitu
kualitas fisik, kimia, dan biologis. Kualitas fisik berdasarkan pada kekeruhan,
temperatur, warna, bau, dan rasa. Kualiatas kimia adanya senyawa-senyawa kima
yang beracun, perubahan rupa, warna dan rasa air serta reaksi-reaksi yang tidak
diharapkan menyebabkan diadakannya standar kualitas air minum dan kelayakan
guna suatu air tersebut.
Standar
kualitas air memberikan batas konsentrasi maksimum yang dianjurkan dan yang
diperkenankan bagi berbagai parameter kimia, karena pada konsentrasi yang
berlebihan kehadiran unsur-unsur tersebut dalam air akan memberikan pengaruh
negatif, baik bagi kesehatan maupun dari segi pemakaian lainnya. Kualitas biologis didasarkan pada kehadiran kelompok-kelompok mikroba tertentu
seperti mikroba patogen (penyakit perut), pencemar (terutama Coli),
penghasil toksin dsb.
Indikator kehadiran bakteri coliform
merupakan polusi kotoran akibat kondisi sanitasi yang buruk
terhadap air dan makanan.. Bakteri coliform ada 2 jenis :
1.
Fekal :
berasal dari tinja manusia dan mamalia (misal : Escherichia coli)
2.
Nonfekal :
berasal dari sumber lain (misal : Enterobacter aerogenes, Klebsiella)
Untuk melihat kualitas air dengan indikator coliform,
maka perlu dilakukan uji kualitatif dan kuantitatif bakteri coliform.melalui
3 tahapan yaitu uji Penduga (presumptive test), uji Penetap (Confirmed Test),
uji Pelengkap (Completed test).
Penghitungan bakteri coliform juga dapat menggunakan metode Millipore
Membrane Filter menggunakan filter membran steril pori yang berdiameter
0,22 – 0,45 dengan diameter membran : 5 cm.
Dimana di setiap air tersebut terdapat kandungan mikroorganisme yang
dapat bermanfaat ataupun dapat merugikan kehidupan makluk hidup lainnya khususnya manusia sebagai pengguna
air paling besar. Pada pembahasan ini kita akan membahas tentang segala biota
laut berukuran mikro yang biasa di kenal dengan sebutan mikrobiologi akuatik.
Mikrobiologi akuatik adalah pembahasan mikroorganisme serta
kegiatannya di perairan tawar, muara, dan marin, termasuk mata air, danau,
sungai, dan laut. Bidang itu membahas
tentang berbagai virus, bakteri, algae, protozoa, dan
cendawan mikroskopik yang menghuni perairan yang
terbentuk secara alamiah ataupun
yang sengaja di buat oleh manusia. Fungsi dari mikroorganisme ini
bermacam-macam baik yang berfungsi sebagai pakan, penyaing maupun yang
berfungsi sebagai penyebab penyakit.
Sejumlah senyawa kimia
berbahaya (kontaminan/pencemar) dan kelompok bahan buangan sudah diperbaiki melalui
bioremediasi. Bioremediasi merupakan
proses perbaikan bahan buangan atau limbah dengan
melibatkan mikroorganisme. Terdapatnya
senyawa berbahaya dalam lingkungan karena, kondisi lingkungan tersebut tidak
memungkinkan aktivitas mikroba untuk melakukan degradasi secara biokimia.
Optimalisasi kondisi lingkungan tersebut melalui
pemahaman prinsip biologik mengenai senyawa yang akan diurai, dan pengaruh
kondisi lingkungan terhadap kemampuan mikroorganisme dan reaksi katalisisnya.
Teknik pertama yang digunakan adalah mengevaluasi, menentukan batas kondisi
lingkungan pada daerah yang tercemar bahan tertentu. Rancangan akhir harus
menyediakan kontrol untuk memanipulasi keadaan lingkungan tersebut dalam rangka
meningkatkan biodegradasi senyawa target. Senyawa target merupakan senyawa
kimia berbahaya yang akan diremediasi melalui bioremediasi. Bioremediasi
merupakan aplikasi prinsip proses biologik/biogeradasi, untuk menangani air
tanah, tanah, dan lumpur yang tercemar oleh senyawa kimia berbahaya.
Terdapat
sedikit perbedaan antara rancangan prinsip proses biologik/biodegradasi air
limbah dengan bioremediasi senyawa kimia berbahaya. Proses biologik merupakan
proses katalisis senyawa kimia oleh mikroorganisme yang terjadi secara alami.
Pada bioremediasi menggunakan teknik kimia dan teknik lingkungan. Bioremediasi
lebih rumit karena menggunakan katalis (enzim) yang disuplai oleh
mikroorganisme yang mengkatalisis penghancuran senyawa berbahaya spesifik
(senyawa target). Senyawa kimia berbahaya dapat berupa substrat atau bukan
substrat bagi mikroorganisme. Reaksi katalisis senyawa kimia ini dilaksanakan
dalam unit modular (“sel”) atau di luar sel. Prinsip reaksinya adalah reaksi
reduksi-oksidasi, yang penting untuk pembentukan energi bagi organisme.
2. metode penelitian
Metode
penelitian yang digunakan adalah studi literatur. Metode studi literatur yaitu
metode yang menggunakan sumber literatur seperti jurnal, buku, artikel dengan
identitas yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai pokok pikiran dalam
pengerjaan penelitian berikut. Aspek yang diamati meliputi jenis dan kualitas
air, kehadiran kelompok – kelompok bakteri coliform, penghitungan bakteri
coliform, evaluasi peentuan batas kondisi lingkungan, penyediaan kontrol untuk
manipulasi keadaan lingkungan dan bioremediasi.
Sampel
yang digunakan adalah air permukaan. Kualitas perairan
juga dapat ditentukan berdasarkan nilai IPB. Penentuan Nilai IPB (Indeks Pencemar Biologis) atau Biological Indices
of Pollution (BIP) suatu perairan, pada
umumnya dilakukan kalau air dari suatu sumber perairan akan digunakan sebagai bahan baku untuk kepentingan pabrik/industri
(sebagai air proses, air pendingin), untuk kepentingan
rekreasi (berenang). Makin tinggi nilai IPB maka makin tinggi kemungkinan deteriosasi/korosi materi di dalam sistem
pabrik (logam-logam yang mengandung Fe dan
S), atau pun terhadap kemungkinan adanya kontaminasi badan air oleh organisme patogen (Hamdiyati,
2018).
Pengolahan Limbah Sekunder atau Secara Biologik
Pengolahan sekunder melibatkan oksidasi senyawa
organik berbentuk koloid dan terlarut dengan
adanya mikroorganisme dan organism dekomposer lain.
Keadaan berangin biasanya dibutuhkan oleh ‘trickling
filters’ atau ’activated sludge tanks’ (lumpur aktif), sedangkan
dalam iklim yang hangat dapat digunakan ‘oxidation ponds’ (kolam oksidasi). Lumpur
sekunder yang dihasilkan dari pengolahan secara biologic dicampurkan dengan lumpur primer dalam tangki ‘sluge digestion’, dimana terjadi penguraian secara anaerobik oleh mikroorganisme (Hamdiyati,
2018).
Trickling
(percolating) filters.
Trickling filters merupakan tangki berbentuk lingkaran atau empatpersegi panjang, setinggi 1-3 m dan diisi dengan susunan alas (filter bed) mineral atau plastik. Mineral
dapat berupa pecahan batu, genting, arang, dan ‘slag’ (terak, ampas bijih), tetapi harus berukuran serupa, jadi akan
menempati bagian yang sama. Rentang ukuran biasanya antara 3,5-5,0 cm, dengan bagian
permukaan khusus bervolume 80-110 m2/m3 dan ukuran
jarak 45-55 % dari volume keseluruhan. Dilengkapi dengan batang pemutar (bagian
tengah) atau pipa yang dapat digerakan maju-mundur, pada tangki persegi. Bagian atas terdapat lubang untuk masukan limbah,
dan bagian bawah arah berhadaan
disediakan kran untuk mengeluarkan efuen/cairan.Bakteri yang terdapat dalam jumlah paling besar dan bentuk dasar dari jaring
makanan (Hamdiyati,
2018).
Proses Activated
sludge.
Dalam tangki activated sludge (lumpur
aktif), limbah endapan dicampurkan dengan
suspensi mikroorganisme dan diberi udara selama 1-30 jam, bergantung pada tujuan pengolahan. Lumpur aktif digambarkan sebagai lingkungan akuatik yang sebenarnya.
Kondisi turbulen dalam tangki tidak layak untuk makroinvertebrata, sehingga
komunitas tanpa mata-rantai yang lebih besar dalam jarring makanan (Hamdiyati,
2018).
Sejumlah massa mikroba dalam sistem ini dikendalikan
oleh pengambilan kelebihan lumpur, sedangkan lapisan berlebihan pada filter
dibuang dengan perantara proses biologik.Dalam tangki lumpur aktif, komunitas
mikroba awalnya dihubungkan dengan limbah yang tidak diolah, selanjutnya,
memurnikan efluen, sedangkan pada filter bed suatu suksesi komunitas
timbul pada kedalaman yang berbeda dan dihubungkan dengan perbedaan derajat
pemurnian efluen (Hamdiyati,
2018).
Oxidation ponds..
Oxidation ponds atau kolam oksidasi (stabilisasi) digunakan dalam iklim hangat untuk memurnikan limbah dan prosesnya
melibatkan interaksi antara bakteri dan algae (Hamdiyati,
2018).
3. HASIL DAN
PEMBAHASAN
Masuknya limbah ke suatu badan perairan umumnya akan mengganggu sistem
keseimbangan yang ada di perairan tersebut. Penambahan bahan organik yang
terkandung dalam air limbah akan menjadi suatu pernasalahan tersendiri pada
suatu ekosistem perairan. Bahan organik dapat menyebabkan dampak langsung
maupun dampak tidak langsung yang bersifat merugikan bagi perairan. Secara
langsung, keberadaan bahan organik dapat menurutIkan kandungan DO di perairan.
Hal ini menyebabkan terjadinya deplesi oksigen, bahkan dapat menghasilkan
kondisi anaerob. Pada kondisi anaerob, umumnya akan dihasilkan gas H2S, NH3,
dan C& yang sifatnya beracun sehingga sangat berbahaya bagi kehidupan biota
perairan. Dampak secara tidak langsung yaitu bahan organik yang didekomposisi
oleh mikroorganisme perairan akan menghasilkan senyawa nutrien N dan P yang
dapat menyuburkan perairan. Apabila kondisi ini terjadi secara terus menerus,
maka &an terjadi akumulasi nutrien yang dikenal dengan istilah eutrofikasi.
Proses ini berdampak pada peristiwa blooming alga. Peningkatan jumlah alga yang
ada di perairan akan meningkatkan konsumsi oksigen. Akhimya terjadi deplesi
oksigen sehingga terjadi akumulasi kembali bahan organik yang disebabkan oleh
kematian biota perairan. Deplesi oksigen dapat menyebabkan terjadinya kondisi anaerob
di perairan. Dalam kondisi anaerob, gas-gas beracun seperti yang telah
disebutkan sebelumnya akan terbentuk. Secara alami suatu ekosistem perairan
mempunyai kemampuan untuk mengurangi bahan pencemar
yang masuk ke dalam badan perairan tersebut. Kemampuan pulih diri ini dikenal
dengan istilah purifikasi. Pengolahan air limbah secara biologis yang dilakukan
oleh manusia umumnya dilakukm untuk mempercepat serta mengoptimalkan proses
pulih din yang telah ada. Penambahan agen biologi berupa bakteri dan tumbuhan
air merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengolah limbah yang
mengandung bahan organik. Percobaan pengolahan bahan organik limbah kantin
dengan penambahan agen biologi berupa bakteri (Bacillussp. dan
Chromobacteriztmsp.) serta tumbuhan air (Lemnasp.) menunjukkan hasil yang cukup
baik. Pada akhir pengamatan selama enam hari retensi, kombinasi pemanfaatan
tumbuhan air dan bakteri telah berhasil menurunkan kandungan bahan organik yang
lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang llanyamemanfatkan satu agen biologi,
tumbuhan air saja atau bakteri saja. Ketika akhir pengamatan, perlakuan
kombinasi tumbuhan air dan bakteri memiliki nilai DO lebih besar bila
dibandingkan dengan perlakuan tanpa kombinasi turnbuhan air dan bakteri. Hal
ini mengindikasikan adanya asosiasi antara bakteri dan tumbuhan air. Bakteri
dan tumbuhan air akan melakukan proses-proses biologi yang saling berhubungan
antara keduanya. Secara skematis, Proses-proses yang terjadi pada pengolahan
limbah kantin pada saat percobaan merupakan proses biologis yang secara alami
dilakukan oleh bakteri dan tumbuhan air. Pemanfaatan terhadap bahan organik
ditandai dengan penman nilai COD serta peningkatan jumlah koloni bakteri. Pola
pertumbuhan bakteri selama enam hari retensi pada awalnya berlangsung lambat,
selanjutnya terjadi pertumbuhan yang sangat pesat dan menurun pada akhir
pengamatan. Hal ini menandakan bahwa jumlah bahan organik yang ada memberikan
pengaruh terhadap jumlah koloni bakteri.Bahan organik yang telah didekomposisi
selanjutnya akan menjadi bahan anorganik berupa unsur hara yang akan
dimanfaatkan oleh Lemna sp. Pemanfaatan unsur hara ini ditandai dengan peningkatan
biomass tumbuhan air yang diukur melalui penambahan luas penutupan Lemnasp.
Keberadaan Lemna sp. sebagai tumbuhan air
yang akan memanfaatkan unsur hara melalui fotosintesis akan berdampak pada
peningkatan oksigen terlarut di perairan tersebut. Selanjutnya oksigen ini
dapat diianfatkan kembali ole11 bakteri dalam proses dekomposisi bahan organik.
Siklus ini akan tejadi terus menerus selama semua komponen dalam keadaan
seimbang. Selama enam hari retensi, beberapa parameter lingkungan yang diukur
sebagai cerminan kualitas air juga memberikan hasil yang cukup baik.
Nilai-nilai parameter lingkungan yang terukur memberikan hasil yang mendukung
untuk proses pengolahan limbah secara biologis. Berdasarkan hasil yang telah
didapatkan, maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan kombinasi tumbuhan air dan
bakteri terbukti lebih optimal dalam pengolahan air limbah secara biologis.
Alternatif
Pengelolaan
Penerapan konsep pengolahan limbah kantin secara biologis dengan
memanfaatkan tumbuhan air dan bakteri dapat dilakukan melalui pembuatan
instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Instalasi ini berupa bak-bak pengolahan
limbah seperti halnya pada pengolahan limbah industri. Pembentukan bak-bak
pengolahan ini diharapkan dapat mengoptimalkan proses-proses biologis yang
dilakukan tumbuhan air dan bakteri. Hal lain yang mendasari pembentukan bak ini
adalah agar memudahkan pemanenan biomass Lemna sp. yang memiliki pertumbuhan sangat cepat selain itu Sejumlah senyawa kimia berbahaya
(kontaminan/pencemar) dan kelompok bahan-buangan sudah diperbaiki melalui
bioremediasi. Bioremediasi merupakan proses perbaikan bahanbuangan atau limbah
dengan melibatkan mikrorganisme. Terdapatnya senyawa berbahaya dalamlingkungan
karena, kondisi lingkungan tersebut tidak memungkinkan aktivitas mikroba
untukmelakukan degradasi secara biokimia. Optimalisasi kondisi lingkungan
tersebut melaluipemahaman prinsip biologik mengenai senyawa yang akan diurai,
dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap
kemampuan mikroorganisme dan reaksi katalisisnya.Teknik pertama yang digunakan
adalah mengevaluasi, menentukan batas kondisilingkungan pada daerah yang
tercemar bahan tertentu. Rancangan akhir harus menyediakankontrol untuk
memanipulasi keadaan lingkungan tersebut dalam rangka meningkatkanbiodegradasi
senyawa target. Senyawa target merupakan senyawa berbahaya yang akan di
remidiasi dengan bioremidiasi.
4. KESIMPULAN
Air merupakan materi
penting dalam kehidupan makhluk hidup, hewan dan tumbuhan tersusun oleh air
yaitu lebih dari 75% isi sel tumbuhan dan lebih dari 67% isi hewan. Kualitas
air memenuhi aspek fisi berdasarkan pada kekeruhan, temperatur, warna, bau dan
rasa. Asspek kimia adanya senyawa – senyawa kimia yang beracun, perubahan rupa,
warna dan rasa air mikrobiologi akuatik bidang membahas virus, bakteri, algae,
protozoa yang meghuni perairan pengolahan limbah sekunder dilakukan dengan
teknik trickling filter, proses activated sludge dan oxidators pond
5.
DAFTAR PUSTAKA
Apriadi,
T. (2008). Kombinasi Bakteri dan Tumbuhan Air Sebagai Bioremediator dalam
Mereduksi Kandungan Bahan Organik Limbah Kantin. Institut Pertaian Bogor.
Hamdiyati, Y. (2018). Mikrobiologi Lingkungan (Mikrobiologi Tanah dan
Mikrobiologi Air). 1-7.
Koponen , S., Pulliainen, J., Kallio, K., & Hallikainen, M. (2002).
Lake Water Quality Classification with Airborne Hyperspectral Spectrometer and
Simulated MERIS Data. Remote Sensing of Environment Vol 79, 51-59.
Purnomo, P. W., Nitisupardjo, M., & Purwandari, Y. (2013). Hubungan
Antara Total Bakteri dengan Bahan Organik, NO3 dan H2S, pada Lokasi Sekitar
Eceg Gondok dan Perariran Terbuka di Rawa Pening. Journal of Management of
Aquatic Resources Vol. 2 No. 3, 85-92.
Ramakrishnaiah, C. R., Sadashivaiah, C., & Ranganna, G. (2009).
Assessment of Water Quality Index for the Groundwater in Tumkur Taluk,
Karnataka State, India. E-Journal of Chemistry Vol. 6 No. 2, 523-530.
Thompson, I. P., Van der Gast, C. J., Ciric, L., & Singer, A. C.
(2005). Bioaugmentation for bioremediation: the challenge of strain selection. Environmental
Microbiology Vol. 7 No. 7, 909-915.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar