Jumat, 25 Mei 2018

pemanfaatan mikrobiologi akuatik sebagai bioremediator jurnal




pemanfaatan mikrobiologi akuatik sebagai bioremediator

Amalia Vidia Safitri1, Deny Suryo Pratama2, Farhana Fitri Ardilla3, Meicin Hikmah Istiqomah4, Rizqi Widi Rahmadani5, Septia Nurul Ismi6
Universitas UIN Sunan Ampel, Surabaya, Indonesia

Abstract
Water is the most important requirement of every living creature, so it can not be avoided if every year there is an increase in the amount of clean water needs, but the fact is less water and water is getting more polluted. This paper aims to describe the process of pollutant control in marine areas with biological principles or biodegradation in its application using remediation that is bioremediation process of waste or waste materials by involving aquatic microorganisms. In the control of secondary pollutants or biologically using the method Trickling filters, Activated sludge. oxidation pool. These three methods make the polluted water of both taste, smell color and harmful chemical substances to be reduced or lost.

Abstrak
Air merupakan kebutuhan terpenting pada setiap mahluk hidup, sehingga tidak dapat dihindari jika tiap tahun terjadi peningkatan jumlah kebutuhan air bersih, namun faktanya air bersih semakin sedikit dan air semakin lama semakin tercemar. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pengendalian pencemar di wilayah perairan dengan prinsip biologik atau biodegradasi dalam pengaplikasiannya menggunakan remediasi yaitu Bioremediasi merupakan proses perbaikan bahan buangan atau limbah dengan melibatkan mikroorganisme akuatik. Dalam pengendalian pencemar sekunder atau secara biologik  menggunakan  metode Trickling filters, Activated sludge. kolam oksidasi. Ketiga metode tersebut menjadikan air yang tercemar baik rasa,warna bau dan zat kimia berbahaya menjadi berkurang atau hilang.

Kata Kunci : Bioremediasi, air, bakteri, mikrobiologi akuatik


1.      PENDAHULUAN

Air merupakan materi penting dalam kehidupan. Semua makhluk hidup membutuhkan air. Misalnya sel hidup, baik hewan maupun tumbuhan, sebagian besar tersusun oleh air, yaitu lebih dari 75% isi sel tumbuhan atau lebih dari 67% isi sel hewan. Dari sejumlah 40 juta milkubik air yang berada di permukaan dan di dalam tanah, ternyata tidak lebih dari 0,5% (0,2 jutamil-kubik) yang secara langsung dapat digunakan untuk kepentingan manusia. Karena dari jumlah 40 juta mil-kubik, 97% terdiri dari air laut dan jenis air lain yang berkadar-garam tinggi, 2,5% berbentuk salju dan es-abadi yang dalam keadaan mencair baru dapat dipergunakan secara langsung oleh manusia. Kebutuhan air untuk keperluan sehari-hari, berbeda untuk setiap tempat dan setiap tingkatan kehidupan. Biasanya semakin tinggi taraf kehidupan, semakin meningkat pula jumlah kebutuhan air. Di Indonesia, berdasarkan catatan dari Departemen Kesehatan, rata-rata keperluan air adalah 60 liter per kapita, Keperluan air per kapita di negara-negara maju, jauh lebih tinggi dari keperluan di Indonesia, misalnya untuk Amerika Serikat (Chicago: 800 L, Los Angeles: 640 L), Perancis (Paris: 480 L), Jepang (Tokyo: 530 L), dan Swedia (Uppsala: 750 L). Sejalan dengan kemajuan dan peningkatan taraf kehidupan, tidak dapat dihindari adanya peningkatan jumlah kebutuhan air, khususnya untuk keperluan rumah tangga, sehingga berbagai cara dan usaha telah banyak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air, antara lain dengan :
¾     Mencari sumber-sumber air baru (air-tanah, air danau, air sungai, dan sebagainya);
¾     Mengolah dan mentawarkan air laut;
¾     Mengolah dan memurnikan kembali air kotor yang berada di sungai, danau, dan sumber lain yang umumnya telah tercemar baik secara fisik, kimia maupun mikrobiologis.

Kualitas air harus memenuhi 3 persyaratan, yaitu kualitas fisik, kimia, dan biologis. Kualitas fisik berdasarkan pada kekeruhan, temperatur, warna, bau, dan rasa. Kualiatas kimia adanya senyawa-senyawa kima yang beracun, perubahan rupa, warna dan rasa air serta reaksi-reaksi yang tidak diharapkan menyebabkan diadakannya standar kualitas air minum dan kelayakan guna suatu air tersebut.
 Standar kualitas air memberikan batas konsentrasi maksimum yang dianjurkan dan yang diperkenankan bagi berbagai parameter kimia, karena pada konsentrasi yang berlebihan kehadiran unsur-unsur tersebut dalam air akan memberikan pengaruh negatif, baik bagi kesehatan maupun dari segi pemakaian lainnya. Kualitas biologis didasarkan pada kehadiran kelompok-kelompok mikroba tertentu seperti mikroba patogen (penyakit perut), pencemar (terutama Coli), penghasil toksin dsb.
Indikator kehadiran bakteri coliform merupakan polusi kotoran akibat kondisi sanitasi yang buruk terhadap air dan makanan.. Bakteri coliform ada 2 jenis :
1.      Fekal : berasal dari tinja manusia dan mamalia (misal : Escherichia coli)
2.      Nonfekal : berasal dari sumber lain (misal : Enterobacter aerogenes, Klebsiella)
 Untuk melihat kualitas air dengan indikator coliform, maka perlu dilakukan uji kualitatif dan kuantitatif bakteri coliform.melalui 3 tahapan yaitu uji Penduga (presumptive test), uji Penetap (Confirmed Test), uji Pelengkap (Completed test).  Penghitungan bakteri coliform juga dapat menggunakan metode Millipore Membrane Filter menggunakan filter membran steril pori yang berdiameter 0,22 – 0,45  dengan diameter membran : 5 cm.
Dimana di setiap air tersebut terdapat kandungan mikroorganisme yang dapat bermanfaat ataupun dapat merugikan kehidupan makluk hidup  lainnya khususnya manusia sebagai pengguna air paling besar. Pada pembahasan ini kita akan membahas tentang segala biota laut berukuran mikro yang biasa di kenal dengan sebutan mikrobiologi akuatik.
Mikrobiologi akuatik adalah  pembahasan  mikroorganisme serta kegiatannya di perairan tawar, muara, dan marin, termasuk mata air, danau, sungai, dan laut. Bidang itu membahas tentang berbagai  virus, bakteri, algae, protozoa, dan cendawan mikroskopik yang menghuni perairan yang terbentuk secara  alamiah ataupun yang sengaja di buat oleh manusia. Fungsi dari mikroorganisme ini bermacam-macam baik yang berfungsi sebagai pakan, penyaing maupun yang berfungsi sebagai penyebab penyakit.
Sejumlah senyawa kimia berbahaya (kontaminan/pencemar) dan kelompok bahan buangan sudah diperbaiki melalui bioremediasi. Bioremediasi merupakan proses perbaikan bahan buangan atau limbah dengan melibatkan mikroorganisme. Terdapatnya senyawa berbahaya dalam lingkungan karena, kondisi lingkungan tersebut tidak memungkinkan aktivitas mikroba untuk melakukan degradasi secara biokimia.
Optimalisasi kondisi lingkungan tersebut melalui pemahaman prinsip biologik mengenai senyawa yang akan diurai, dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap kemampuan mikroorganisme dan reaksi katalisisnya. Teknik pertama yang digunakan adalah mengevaluasi, menentukan batas kondisi lingkungan pada daerah yang tercemar bahan tertentu. Rancangan akhir harus menyediakan kontrol untuk memanipulasi keadaan lingkungan tersebut dalam rangka meningkatkan biodegradasi senyawa target. Senyawa target merupakan senyawa kimia berbahaya yang akan diremediasi melalui bioremediasi. Bioremediasi merupakan aplikasi prinsip proses biologik/biogeradasi, untuk menangani air tanah, tanah, dan lumpur yang tercemar oleh senyawa kimia berbahaya.
 Terdapat sedikit perbedaan antara rancangan prinsip proses biologik/biodegradasi air limbah dengan bioremediasi senyawa kimia berbahaya. Proses biologik merupakan proses katalisis senyawa kimia oleh mikroorganisme yang terjadi secara alami. Pada bioremediasi menggunakan teknik kimia dan teknik lingkungan. Bioremediasi lebih rumit karena menggunakan katalis (enzim) yang disuplai oleh mikroorganisme yang mengkatalisis penghancuran senyawa berbahaya spesifik (senyawa target). Senyawa kimia berbahaya dapat berupa substrat atau bukan substrat bagi mikroorganisme. Reaksi katalisis senyawa kimia ini dilaksanakan dalam unit modular (“sel”) atau di luar sel. Prinsip reaksinya adalah reaksi reduksi-oksidasi, yang penting untuk pembentukan energi bagi organisme.

2.      metode penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur. Metode studi literatur yaitu metode yang menggunakan sumber literatur seperti jurnal, buku, artikel dengan identitas yang dapat dipertanggung jawabkan sebagai pokok pikiran dalam pengerjaan penelitian berikut. Aspek yang diamati meliputi jenis dan kualitas air, kehadiran kelompok – kelompok bakteri coliform, penghitungan bakteri coliform, evaluasi peentuan batas kondisi lingkungan, penyediaan kontrol untuk manipulasi keadaan lingkungan dan bioremediasi.
Sampel yang digunakan adalah air permukaan. Kualitas perairan juga dapat ditentukan berdasarkan nilai IPB. Penentuan Nilai IPB (Indeks Pencemar Biologis) atau Biological Indices of Pollution (BIP) suatu perairan, pada umumnya dilakukan kalau air dari suatu sumber perairan akan digunakan sebagai bahan baku untuk kepentingan pabrik/industri (sebagai air proses, air pendingin), untuk kepentingan rekreasi (berenang). Makin tinggi nilai IPB maka makin tinggi kemungkinan deteriosasi/korosi materi di dalam sistem pabrik (logam-logam yang mengandung Fe dan S), atau pun terhadap kemungkinan adanya kontaminasi badan air oleh organisme patogen (Hamdiyati, 2018).

Pengolahan Limbah Sekunder atau Secara Biologik

Pengolahan sekunder melibatkan oksidasi senyawa organik berbentuk koloid dan terlarut dengan adanya mikroorganisme dan organism dekomposer lain. Keadaan berangin biasanya dibutuhkan oleh ‘trickling filters’ atau ’activated sludge tanks’ (lumpur aktif), sedangkan dalam iklim yang hangat dapat digunakan ‘oxidation ponds’ (kolam oksidasi). Lumpur sekunder yang dihasilkan dari pengolahan secara biologic dicampurkan dengan lumpur primer dalam tangki ‘sluge digestion’, dimana terjadi penguraian secara anaerobik oleh mikroorganisme (Hamdiyati, 2018).

Trickling (percolating) filters.

Trickling filters merupakan tangki berbentuk lingkaran atau empatpersegi panjang, setinggi 1-3 m dan diisi dengan susunan alas (filter bed) mineral atau plastik. Mineral dapat berupa pecahan batu, genting, arang, dan ‘slag’ (terak, ampas bijih), tetapi harus berukuran serupa, jadi akan menempati bagian yang sama. Rentang ukuran biasanya antara 3,5-5,0 cm, dengan bagian permukaan khusus bervolume 80-110 m2/m3 dan ukuran jarak 45-55 % dari volume keseluruhan. Dilengkapi dengan batang pemutar (bagian tengah) atau pipa yang dapat digerakan maju-mundur, pada tangki persegi. Bagian atas terdapat lubang untuk masukan limbah, dan bagian bawah arah berhadaan disediakan kran untuk mengeluarkan efuen/cairan.Bakteri yang terdapat dalam jumlah paling besar dan bentuk dasar dari jaring makanan (Hamdiyati, 2018).

Proses Activated sludge.

Dalam tangki activated sludge (lumpur aktif), limbah endapan dicampurkan dengan suspensi mikroorganisme dan diberi udara selama 1-30 jam, bergantung pada tujuan pengolahan. Lumpur aktif digambarkan sebagai lingkungan akuatik yang sebenarnya. Kondisi turbulen dalam tangki tidak layak untuk makroinvertebrata, sehingga komunitas tanpa mata-rantai yang lebih besar dalam jarring makanan (Hamdiyati, 2018).

Sejumlah massa mikroba dalam sistem ini dikendalikan oleh pengambilan kelebihan lumpur, sedangkan lapisan berlebihan pada filter dibuang dengan perantara proses biologik.Dalam tangki lumpur aktif, komunitas mikroba awalnya dihubungkan dengan limbah yang tidak diolah, selanjutnya, memurnikan efluen, sedangkan pada filter bed suatu suksesi komunitas timbul pada kedalaman yang berbeda dan dihubungkan dengan perbedaan derajat pemurnian efluen (Hamdiyati, 2018).

Oxidation ponds..

Oxidation ponds atau kolam oksidasi (stabilisasi) digunakan dalam iklim hangat untuk memurnikan limbah dan prosesnya melibatkan interaksi antara bakteri dan algae (Hamdiyati, 2018).

3.      HASIL DAN PEMBAHASAN
Masuknya limbah ke suatu badan perairan umumnya akan mengganggu sistem keseimbangan yang ada di perairan tersebut. Penambahan bahan organik yang terkandung dalam air limbah akan menjadi suatu pernasalahan tersendiri pada suatu ekosistem perairan. Bahan organik dapat menyebabkan dampak langsung maupun dampak tidak langsung yang bersifat merugikan bagi perairan. Secara langsung, keberadaan bahan organik dapat menurutIkan kandungan DO di perairan. Hal ini menyebabkan terjadinya deplesi oksigen, bahkan dapat menghasilkan kondisi anaerob. Pada kondisi anaerob, umumnya akan dihasilkan gas H2S, NH3, dan C& yang sifatnya beracun sehingga sangat berbahaya bagi kehidupan biota perairan. Dampak secara tidak langsung yaitu bahan organik yang didekomposisi oleh mikroorganisme perairan akan menghasilkan senyawa nutrien N dan P yang dapat menyuburkan perairan. Apabila kondisi ini terjadi secara terus menerus, maka &an terjadi akumulasi nutrien yang dikenal dengan istilah eutrofikasi. Proses ini berdampak pada peristiwa blooming alga. Peningkatan jumlah alga yang ada di perairan akan meningkatkan konsumsi oksigen. Akhimya terjadi deplesi oksigen sehingga terjadi akumulasi kembali bahan organik yang disebabkan oleh kematian biota perairan. Deplesi oksigen dapat menyebabkan terjadinya kondisi anaerob di perairan. Dalam kondisi anaerob, gas-gas beracun seperti yang telah disebutkan sebelumnya akan terbentuk. Secara alami suatu ekosistem perairan mempunyai kemampuan untuk mengurangi bahan pencemar yang masuk ke dalam badan perairan tersebut. Kemampuan pulih diri ini dikenal dengan istilah purifikasi. Pengolahan air limbah secara biologis yang dilakukan oleh manusia umumnya dilakukm untuk mempercepat serta mengoptimalkan proses pulih din yang telah ada. Penambahan agen biologi berupa bakteri dan tumbuhan air merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengolah limbah yang mengandung bahan organik. Percobaan pengolahan bahan organik limbah kantin dengan penambahan agen biologi berupa bakteri (Bacillussp. dan Chromobacteriztmsp.) serta tumbuhan air (Lemnasp.) menunjukkan hasil yang cukup baik. Pada akhir pengamatan selama enam hari retensi, kombinasi pemanfaatan tumbuhan air dan bakteri telah berhasil menurunkan kandungan bahan organik yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang llanyamemanfatkan satu agen biologi, tumbuhan air saja atau bakteri saja. Ketika akhir pengamatan, perlakuan kombinasi tumbuhan air dan bakteri memiliki nilai DO lebih besar bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa kombinasi turnbuhan air dan bakteri. Hal ini mengindikasikan adanya asosiasi antara bakteri dan tumbuhan air. Bakteri dan tumbuhan air akan melakukan proses-proses biologi yang saling berhubungan antara keduanya. Secara skematis, Proses-proses yang terjadi pada pengolahan limbah kantin pada saat percobaan merupakan proses biologis yang secara alami dilakukan oleh bakteri dan tumbuhan air. Pemanfaatan terhadap bahan organik ditandai dengan penman nilai COD serta peningkatan jumlah koloni bakteri. Pola pertumbuhan bakteri selama enam hari retensi pada awalnya berlangsung lambat, selanjutnya terjadi pertumbuhan yang sangat pesat dan menurun pada akhir pengamatan. Hal ini menandakan bahwa jumlah bahan organik yang ada memberikan pengaruh terhadap jumlah koloni bakteri.Bahan organik yang telah didekomposisi selanjutnya akan menjadi bahan anorganik berupa unsur hara yang akan dimanfaatkan oleh Lemna sp. Pemanfaatan unsur hara ini ditandai dengan peningkatan biomass tumbuhan air yang diukur melalui penambahan luas penutupan Lemnasp. Keberadaan Lemna sp. sebagai tumbuhan air yang akan memanfaatkan unsur hara melalui fotosintesis akan berdampak pada peningkatan oksigen terlarut di perairan tersebut. Selanjutnya oksigen ini dapat diianfatkan kembali ole11 bakteri dalam proses dekomposisi bahan organik. Siklus ini akan tejadi terus menerus selama semua komponen dalam keadaan seimbang. Selama enam hari retensi, beberapa parameter lingkungan yang diukur sebagai cerminan kualitas air juga memberikan hasil yang cukup baik. Nilai-nilai parameter lingkungan yang terukur memberikan hasil yang mendukung untuk proses pengolahan limbah secara biologis. Berdasarkan hasil yang telah didapatkan, maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan kombinasi tumbuhan air dan bakteri terbukti lebih optimal dalam pengolahan air limbah secara biologis.

Alternatif Pengelolaan
Penerapan konsep pengolahan limbah kantin secara biologis dengan memanfaatkan tumbuhan air dan bakteri dapat dilakukan melalui pembuatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Instalasi ini berupa bak-bak pengolahan limbah seperti halnya pada pengolahan limbah industri. Pembentukan bak-bak pengolahan ini diharapkan dapat mengoptimalkan proses-proses biologis yang dilakukan tumbuhan air dan bakteri. Hal lain yang mendasari pembentukan bak ini adalah agar memudahkan pemanenan biomass Lemna sp. yang memiliki pertumbuhan sangat cepat selain itu Sejumlah senyawa kimia berbahaya (kontaminan/pencemar) dan kelompok bahan-buangan sudah diperbaiki melalui bioremediasi. Bioremediasi merupakan proses perbaikan bahanbuangan atau limbah dengan melibatkan mikrorganisme. Terdapatnya senyawa berbahaya dalamlingkungan karena, kondisi lingkungan tersebut tidak memungkinkan aktivitas mikroba untukmelakukan degradasi secara biokimia. Optimalisasi kondisi lingkungan tersebut melaluipemahaman prinsip biologik mengenai senyawa yang akan diurai, dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap kemampuan mikroorganisme dan reaksi katalisisnya.Teknik pertama yang digunakan adalah mengevaluasi, menentukan batas kondisilingkungan pada daerah yang tercemar bahan tertentu. Rancangan akhir harus menyediakankontrol untuk memanipulasi keadaan lingkungan tersebut dalam rangka meningkatkanbiodegradasi senyawa target. Senyawa target merupakan senyawa berbahaya yang akan di remidiasi dengan bioremidiasi.

4.      KESIMPULAN
Air merupakan materi penting dalam kehidupan makhluk hidup, hewan dan tumbuhan tersusun oleh air yaitu lebih dari 75% isi sel tumbuhan dan lebih dari 67% isi hewan. Kualitas air memenuhi aspek fisi berdasarkan pada kekeruhan, temperatur, warna, bau dan rasa. Asspek kimia adanya senyawa – senyawa kimia yang beracun, perubahan rupa, warna dan rasa air mikrobiologi akuatik bidang membahas virus, bakteri, algae, protozoa yang meghuni perairan pengolahan limbah sekunder dilakukan dengan teknik trickling filter, proses activated sludge dan oxidators pond

5.      DAFTAR PUSTAKA

Apriadi, T. (2008). Kombinasi Bakteri dan Tumbuhan Air Sebagai Bioremediator dalam Mereduksi Kandungan Bahan Organik Limbah Kantin. Institut Pertaian Bogor.

Hamdiyati, Y. (2018). Mikrobiologi Lingkungan (Mikrobiologi Tanah dan Mikrobiologi Air). 1-7.
Koponen , S., Pulliainen, J., Kallio, K., & Hallikainen, M. (2002). Lake Water Quality Classification with Airborne Hyperspectral Spectrometer and Simulated MERIS Data. Remote Sensing of Environment Vol 79, 51-59.
Purnomo, P. W., Nitisupardjo, M., & Purwandari, Y. (2013). Hubungan Antara Total Bakteri dengan Bahan Organik, NO3 dan H2S, pada Lokasi Sekitar Eceg Gondok dan Perariran Terbuka di Rawa Pening. Journal of Management of Aquatic Resources Vol. 2 No. 3, 85-92.
Ramakrishnaiah, C. R., Sadashivaiah, C., & Ranganna, G. (2009). Assessment of Water Quality Index for the Groundwater in Tumkur Taluk, Karnataka State, India. E-Journal of Chemistry Vol. 6 No. 2, 523-530.
Thompson, I. P., Van der Gast, C. J., Ciric, L., & Singer, A. C. (2005). Bioaugmentation for bioremediation: the challenge of strain selection. Environmental Microbiology Vol. 7 No. 7, 909-915.




 
 


Zat Padat Terlarut (Total Dissolved Solids) pada Air Bersih

Halo guys apakah kamu sudah tahu apakah itu zat padat terlarut (TDS) pada air bersih atau air limbah? Yuk langsung saja kita bahas mengenai ...